Hukum undang-undang Gadai Sawah.
UU Perpu 56/60, Pasal 7 mengatur bahwa penguasaan tanah oleh pemegang gadai hanya dapat berlangsung paling lama untuk jangka waktu 7 (tujuh) tahun, kemudian setelah 7 (tujuh) tahun pemanfaatan pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut kepada pemiliknya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah tanaman selesai di panen dan tanpa hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan atau uang gadai yang telah diterima.
Ketiadaan kewajiban pengembalian uang gadai setelah 7 (tujuh) tahun pemanfaatan ini memiliki maksud bahwa pemanfaatan sawah dalam jangka waktu 7 (tujuh) tahun tersebut dianggap telah setara dengan jumlah uang gadai yang diberikan oleh pemegang gadai.
Namun, dalam hal penguasaan tanah belum berlangsung selama 7 (tujuh) tahun maka pemilik tanah dalam setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen berhak untuk meminta tanahnya kembali dengan membayar uang tebusan atau uang gadai yang telah diberikan dengan ketentuan perhitungan sebagai berikut:
(7+1/2) – waktu berlangsungnya hak gadai x uang gadai dibagi 7
Dengan demikian, merujuk pada pengaturan di atas, diketahui bahwa hak gadai merupakan hak yang sifatnya sementara yang diusahakan hapus dalam waktu yang singkat dan memiliki jangka waktu penguasaan yang terbatas. Selain itu, selama masa gadai belum mencapai 7 (tujuh) tahun, pemilik tanah dapat meminta tanahnya kembali pada saat kapanpun kepada penggarap dengan mengembalikan uang gadai, tentunya hal ini tidak memberikan jaminan kepastian bagi usaha penggarap.
Cara membuat perjanjian gadai sawah yang sah.
a. Syarat sah perjanjian
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian wajib memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu; (i) sepakat, (ii) kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, (iii) obyek perjanjian dan (iv) klausa yang halal.
b. Pembuatan Perjanjian
Berdasarkan UU 2/60 dan Peraturan Menteri Agraria Nomor 4 Tahun 1964 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perjanjian Bagi Hasil (“PerMenAgr 4/64”), Perjanjian wajib dibuat secara tertulis dihadapan kepala desa atau daerah yang setingkat dengan itu sesuai dengan lokasi keberadaan tanah, diisi dalam buku daftar yang disediakan dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi masing – masing dari pihak pemilik tanah dan penggarap. Setelah itu, Perjanjian tersebut harus disahkan oleh Camat atau Kepala Kecamatan dan diumumkan dalam tiap kerapatan desa.
c. Jangka waktu Perjanjian
Berdasarkan UU 2/60, jangka waktu bagi Perjanjian sawah sekurang – kurangnya adalah 3 (tiga) tahun dan bagi tanah kering sekurang – kurangnya adalah 5 (lima) tahun atau setidaknya terus berlaku sampai waktu tanaman tersebut selesai dipanen yang mana tidak dapat lebih dari 1 (satu) tahun. Selain itu, UU 2/60 juga memberikan kepastian hukum bagi penggarap yaitu hal mana Perjanjian tersebut tidak akan terputus karena pemindahan hak milik atas tanah sawah kepada orang lain.
d. Pengakhiran Perjanjian
Pengakhiran Perjanjian hanya dapat dilaksanakan jika disepakati oleh kedua belah pihak dan setelah dilaporkan kepada Kepala Desa. Namun, pengakhiran Perjanjian juga dapat dilaksanakan dengan izin dari Kepala Desa dengan cara pengajuan tuntutan oleh pemilik tanah dengan alasan – alasan sebagai berikut: (i) penggarap tidak mengusahakan tanah yang bersangkutan sebagaimana mestinya atau tidak memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan sebagian dari hasil tanah yang telah ditentukan kepada pemilik, atau (ii) tidak memenuhi bahan – bahan yang menjadi tanggungannya yang diatur di dalam Perjanjian atau (iii) tanpa izin dari pemilik tanah menyerahkan penguasaan tanah tersebut kepada orang lain.
e. Hal – hal lainnya
Berdasarkan UU 2/60 Pasal 9 diatur bahwa kewajiban membayar pajak adalah beban bagi pemilik tanah, terkecuali penggarap tersebut merupakan pemilik tanah. Selain itu, Kepala Kecamatan dengan dibantu oleh panitia landreform kecamatan memberikan laporan kepada panitia landreform daerah tingkat II sehubungan dengan penyelenggaraan perjanjian bagi hasil di kecamatannya.